HUKUM PERIKATAN
HUKUM PERIKATAN "VAN VERBINTENISSEN"
>Istilah Perikatan
Istilah Perikatan dari bahasa Belanda "Verbintenis” berasal dari kata Verbinden
yang artinya mengikat. Jadi, “Verbintenis” menunjuk kepada adanya
“ikatan” atau “hubungan”. Hal ini memang sesuai dengan defenisi
Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum.
>Pengertian Perikatan
Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, Hukum Perikatan
diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau
lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan; yang di mana
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi itu.
>Pengaturan Hukum Perikatan dan Sumber Hukum Perikatan
Pengaturan
hukum perikatan dilakukan dengan sistem ”terbuka”, artinya setiap orang boleh
mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam undang- undang. Inilah yang disebut kebebasan
berkontrak. Tetapi keterbukaan itu dibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang
diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata. Pembatasan tersebut yaitu sebabnya harus
halal, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan,
dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Serta dibatasi dengan pasal 1254
KUH Perdata yaitu syaratnya harus mungkin terlaksana dan harus susila.
Perikatan
diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian
umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I,
Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi
perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan
1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi
perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam
bab-bab bersangkutan.
Pengaturan
nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan
perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum
ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal,
yaitu :
a. Tidak dilarang Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai
dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa
perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang.
Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam
pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci
menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang
dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi
karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi
perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
>Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi
Prestasi
adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi
prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan
1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan
pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi
dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian
antara pihak-pihak.
Menurut
ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan
benda, membayar harga benda, dan
memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan
pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia
perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak
melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan
merek orang lain.
Pasal
1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor kepada kreditor atau sebaliknya, misalnya,
dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang. Dalam
perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan
tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan
membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan
perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan.
Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan
perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor
tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya,
tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya.
Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan
ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar
tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian
besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena
itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya,
kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika
pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak
mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan
prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang
wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat
hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada
tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum
dan kesusilaan.[4]
Wanprestasi
Wanprestasi
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitor, baik karena
kesengajaan maupun kelalaian dan
b. Karena keadaan memaksa (force majeure,
diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk
menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak
baika atau keliru; dan
c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak
tepat waktunya atau terlambat.
Untuk
mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan
apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi.
Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238
KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah
ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana
cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu
diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi
prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak
memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan
tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi.
Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang
berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan
perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor
yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya,
melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh
kreditor kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut
ingebreke stelling.
Akibat
hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi
hukum berikut ini:
a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian
yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPdt).
b. Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor
dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal
1266 KUHPdt)
c. Perikatan untuk memberikan sesuatu,
risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2)
KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika
masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal
1267 KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika
diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah.
>Objek dan Subjek Perikatan
1.OBJEK
HUKUM PERIKATAN
Objek
hukum Perikatan yaitu yang merupakan hak dari kreditur dan kewajiban dari
debitur. Yang menjadi objek perikatan ialah prestasi, yaitu hal-hal pemenuhan
perikatan.
Macam-macam
dari prestasi antara lain : (1) memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan kekuasaan
nyata atas benda dari debitur kepada kreditu, seperti membayar harga dan
lainnya; (2) melakukan perbuatan, yaitu melakukan perbuatan seperti yang telah
ditetapkan di dalam perikatan (perjanjian), contohnya memperbaiki barang yang
rusak dan lainnya; dan (3) tidak melakukan suatu perbuatan, yaitu tidak
melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, contohnya tidak
mendirikan bangunan dan lainnya.
Supaya
prestasi dapat tercapai, artinya suatu kewajiban akan prestasi dipenuhi oleh
debitur, maka prestasi harus memiliki sifat-sifat, antara lain : (a) harus
sudah tertentu atau dapat ditentukan; (b) harus mungkin; (c) harus
diperbolehkan (halal); (d) harus ada manfaatnya bagi kreditu; (e) bisa terdiri
dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Subjek
hukum perikatan yaitu para pihak pada suatu perikatan yang di mana kreditur
yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Pada debitur terdapat
2 (dua) unsur, antara lain schuld yaitu utang debitur kepada kreditur dan
haftung yaitu harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan
utang.
Jika
seorang debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan disebut cidera
janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cedera janji terlebih dahulu harus
dilakukan somasi (ingebrekestelling) yaitu suatu peringatan kepada debitur agar
memenuhi kewajibannya.
>Macam-Macam Perikatan
1. Perikatan
bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan
bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk
memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang
belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan
adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan
(opschortende voorwaarde). Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan
bersyarat “suatu perikatn adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal
ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau
berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi
belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal
ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni:
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila
syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan
(pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk
berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami
paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan
terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan,
jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat batal
Perikatan
yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi
(pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya mendiami rumah K
selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan
rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam contoh, F
wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya.
2. Perikatan Dengan ketetapan Waktu
(tidjsbepaling)
Maksud
syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan
pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang
masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah
tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk
memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah
dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan
ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan
perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan
bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan
pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya
perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang
ditentukan.
3. Perikatan mana suka (alternatif)
Pada
perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan
mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari
dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan
kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang
lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan
dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu
ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor.
4. Perikatan tanggung menanggung atau
tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini
adalah suatu perikatan diaman beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.
Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam
praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang atau
penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu
seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pemabayaran ini juga
membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang dimaksud suatu periktan
tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung berhutang
Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp.
100.000
5. Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan
yang tidak dapat dibagi
Suatu
perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut.
Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam
perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang
kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak
dapat dibagi.
6. Perikatan dengan penetapan hukuman
(strabeding)
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya
dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu
hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan
dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran
kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang
membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan
dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan
sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu
perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.
>Keadaan
Memaksa (Overmacht)
Keadaan
memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor
karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga
akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak
dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan
debitor.
>Konsep Perikatan
Dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH
dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa
mengenai hukum kontrak atau perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan,
dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai
hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak
tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum kontrak atau perjanjian
digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal
ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta
berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa
sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat
ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya
syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian atau kontrak seperti yang
tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Istilah
hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomsrecht. sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) tentang Perikatan. Pasal 1313 KUH perdata merumuskan bahwa
”suatu persetujuan dengan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikataan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan
dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian
adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak
merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya.
HUKUM PERJANJIAN
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan
Istilah
hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomsrecht. sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) tentang Perikatan. Pasal 1313 KUH perdata merumuskan bahwa
”suatu persetujuan dengan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikataan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan
dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian
adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak
merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya.
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu
perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya
kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian. Azas Kebebasan Berkontrak,
yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi
dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas
dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau
setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan,
kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang
melakukan perjanjian. Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian yakni:
– Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
I.
Menurut
Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.
II.
Menurut
Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria
adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah
mencapai umur 16 tahun.
–
Mereka
yang berada di bawah pengampuan.
–
Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–
Semua
orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Mengenai
suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus
mengenai suatu obyek tertentu. Suatu
sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
. Syarat No.1 dan No.2 disebut
dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila
syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak
terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3. Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian
atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
Tidak melaksanakan isi perjanjian.
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan.
Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya.
A.4. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Pembayaran
Adalah
setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara
sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH
Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang.
Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai
subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie
dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal
1402 KUH Perdata).
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau
barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah
suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur)
menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran,
debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran
pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda
pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.
Pembaharuan utang atau novasi
Adalah
suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam
cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti
debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah
suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu
piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama
berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya. Menurut
pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak
membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah
terjadi, kecuali:
I.
Apabila
penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
II.
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
III.
Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah
jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian. Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif
dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu :
i.
Secara
aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
ii.
Secara pembelaan maksudnya adalah
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru
mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i.
Berlakunya suatu syarat batal
Menurut
pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.
Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat
tersebut menjadi hapus.
B. STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
Judul/Kepala
Komparisi yaitu berisi
keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian
itu dibuat.
Keterangan pendahuluan dan uraian singkat
mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri,
berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penutup dari Perjanjian.
C. BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian
dapat berbentuk:
Lisan
Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
–
Di
bawah tangan/onderhands
–
Otentik
C.1. Pengertian Akta
Akta
adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya. Berdasarkan
ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara
lain:
a) Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b) Akta Resmi (Otentik).
Akta
Di bawah Tangan
Adalah
akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini
yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak
disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal
kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai
pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan
pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian
di bawah tangan terdiri dari:
(i) Akta di bawah tangan biasa
(ii) Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah
tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian
didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam
dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii) Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah
tangan yang dibuat oleh para pihak
namun penandatanganannya disaksikan
oleh atau di hadapan Notaris, namun Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya
bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal
ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta
Resmi (Otentik)
Akta
Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat
atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris,
hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan
sebagainya.Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi
para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari
para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
(i) Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum.
(ii) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang.
(iii) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta
itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
>Hukum perjanjian/kontrak
- · Asas “kebebasan berkontrak” (isi Pjj, Ps 1338 (1) BW: scr historis lahir dari prinsip individualisme, di sini pengusaha tidak dibenarkan turut campur dlm sosial ekonomi, shg lahir ungkapan exploitation de homme par l’homme. Melalui perkembangnnya hk kontrak sdh banyak diatur oleh penguasa.
- · Asas “Konsensualisme” (lahirnya Pjj): bhw salah satu syarat sahnya pjj adanya kesepakatan para pihak (Ps 1320 (1) BW). Artinya pjj tdk dibuat scr formal tetapi konsensual.
- · Asas Pacta Sunt Servanda/kepastian hukum yg berhubungan dg akibat hk. Asas ini menetapkan bahwa hakim/pihak ketiga hrs menghormati & tdk boleh intervensi substansi kontrak (kontrak layaknya sbg uu)
- · Asas Itikad Baik (Goede Trouw): Ps 1338 (3): “Pjj hrs dilaksanakan dg itikad baik. Asas ini menetapkan bahwa para pihak dlm melaksanakan isi kontrak hrs bdsrkn kepercayaan/keyakinan dan kemauan yg baik.
- · Asas Kepribadian (Personalitas): bhw seseorng yg akan buat kontrak hanya unk kepentingan dirinya saja. Ps 1315 BW: “pada umumnya orang tdk dapat mengadakan pjj selain unk dirinya”. Ps 1340 BW: “pjj hanya berlaku pd para pihak yg membuatnya”.
>Tiga Unsur Perjanjian
- Unsur yg mutlak hrs ada agar perjanjian menjadi sah : Essentialia. Syarat sahnya meliputi: sepakat, cakap, obyek trt, kausa yg halal.
- Unsur yg lazimnya melekat pada perjanjian : Naturalia, di sini merupakan unsur yg melekat/pembawaan dr suatu perjanjian, misalnya: perjanjian jual beli penjual harus menjamin thd cacat tersembunyi.
- Unsur yg harus dimuat/disebut secara tegas dlm perjanjian: Accidentalia, misal: tentang tempat tinggal yg dipilih dlm penyelesaian sengketa perjanjian.
Komentar
Posting Komentar